Schedule simpoSIMPOSIUM PIR-CME: A Challenge to Better ManagementPOSTER + ORAL PRESENTATIONWORKSHOPSATURDAY, June 13rd 2015FRIDAY, June 12nd 2015WORKSHOP EEG (SESI I) - CADWELL07.30-08.00Re-registrationRe-registration Poster & Makalah Bebas07.30-08.00Re-registrasi08.00-08.10OPENING CEREMONYPJ Poster: dr.Edith & dr. Putri08.00-08.05Opening: dr.
Kurnia Kusumastuti SpS(K), Ketua Program Studi Epilepsi, di sela-sela seminar “Tatalaksana yang tepat sangat diperlukan untuk mengontrol serangan, pada penyandang epilepsy wanita dan anak” di Jakarta. Mar 29, 2018 - Nama Dokter Tempat Praktek Isti Suharjanti,dr.SpS RS. Husada Utama Surabaya Hj Kurnia Kusumastuti,dr.SpS(K) RS.
Foto: Getty Images Tak Perlu Puyer Bagaimana dengan puyer? Purnamawati S. Pujiarto, Sp. A (K), MMPed., masyarakat bisa semakin cerdas dan bijak karena di era informasi ini mereka bisa memperoleh informasi berkualitas (obyektif dan ilmiah) dengan mudah dan murah.
Masyarakat juga sudah paham kenapa anak umumnya tidak butuh puyer. Dari sekian banyak alasan untuk tidak mengonsumsi puyer, empat di antaranya adalah: 1. Puyer membuka pintu lebar ke arah polifarmasi yang tidak rasional. Contohnya, banyak anggota masyarakat yang paham bahwa penyakit harian batuk pilek tidak ada obatnya. Batuk bukan penyakit, batuk tidak jahat, dan tidak mematikan.
Batuk justru merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk membersihkan saluran napas dari segala sesuatu yang menganggunya (debu, dahak, makanan/minuman yang tesedak). Refleks batuk justru tidak boleh ditekan. Masyarakat juga mulai paham bahwa muntah dan diare bukan penyakit, melainkan suatu refleks protektif untuk membuang segala sesuatu yang tidak berkenan di saluran cerna kita. Dengan demikian, muntah dan diare justru tidak boleh dimampatkan, tidak boleh dipaksa dihentikan, dan yang justru harus dilakukan adalah mengganti cairan dan elektrolit yang hilang dengan memberikan oralit, selain terus memberikan asi dan cairan lainnya. Ketika kondisinya tidak membutuhkan banyak obat (hanya butuh 1 bahkan maksimal 2 obat), kenapa harus mengonsumsi racikan yang isinya banyak obat? 2. Masyarakat sudah semakin paham pentingnya mencari informasi terkini yang sahih (obyektif), sehingga tatalaksana gangguan kesehatan diupayakan berbasis bukti (kedokteran berbasis bukti alias evidence based medicine atau EBM), bukan sekedar berbasis pengalaman atau berbasis testimoni. Sebagian besar penyakit ada panduan tatalaksananya dan panduan tersebut senantiasa di-update sesuai perkembangan ilmu, sehingga senantiasa berbasis bukti yang kuat dan sahih.
Seyogianya, semua pihak (dokter dan pasien) mematuhi tatalaksana penyakit terkait. Misalnya, ISPA virus tidak butuh banyak obat, kenapa pula harus diberi banyak obat?
Pasien berhak mendapat informasi terkait resep/obat yang mereka terima. Ada lima komponen informasi terkait obat yang wajib diketahui pasien, yaitu kandungan aktif, indikasi, kontraindikasi, risiko efek samping, serta dosis dan cara pakai. Satu obat sekalipun, ketika dipergunakan dengan tidak benar, bisa menimbulkan efek samping, apalagi ketika bayi-anak (mereka lebih rentan mengalami efek samping obat) diberi banyak obat sekaligus. Setiap obat diproduksi di pabrik dengan memperhatikan kaidah proses pembuatan obat yang baik (good manufacturing practices). Sedihnya, obat yang diproduksi dan dikemas sesuai aturan (tentunya dengan biaya yang tidak sedikit), sesampainya di apotek/klinik, dibuka dari kemasan, kapsulnya dicopot, lalu berbagai obat dicampur atau diblender menjadi satu. Kita seharusnya dengan kritis mempertanyakan stabilitas obat-obat tersebut setelah digerus campur baur, apalagi negara kita negara tropis yang lembap.
Ajukan Pertanyaan Pada saat Anda pergi berkonsultasi ke dokter dan mendapat resep obat, jangan lupa untuk mengajukan beberapa pertanyaan wajib di bawah ini: 1. Apakah saya (anak saya) benar-benar membutuhkan obat-obatan ini? 2. Apa kandungan aktifnya? Apa indikasinya? 3. Bagaimana kerjanya? Apa kontraindikasi pemberian obat ini? Apa risiko efek sampingnya? 4. Apakah ada generiknya?
5. Apabila pasien tengah mengonsumsi suatu obat-obatan, tanyakan apakah akan timbul interaksi antara obat-obat tersebut. Setelah itu, pencarian informasi bisa dilanjutkan di web yang terpercaya, misalnya. Hasto Prianggoro Sumber.
Foto: Getty Images Ketika anak sakit, apakah antibiotik selalu diperlukan? Lebih baik, pahami dulu pemberian obat yang rasional dan sesuai dengan kebutuhan pasien. Purnamawati S. Pujiarto, Sp. A (K), MMPed., pola pemakaian obat yang rasional ( rational use of medicine /RUM) intinya adalah pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinis mereka.
Selain itu, pemberian obat juga disesuaikan dengan dosis yang dibutuhkan dan dalam periode waktu tertentu, pasien memperoleh informasi yang akurat, serta biaya yang termurah. RUM adalah pemakaian obat yang aman dan efektif, dengan tujuan terapi atau penanganan yang lebih baik, mengurangi efek samping, menghemat uang (pasien, rumah sakit, negara), serta sesuai dengan etika dan persamaan hak. Ada banyak alasan atau penyebab terjadinya pengobatan yang tidak rasional, dari mulai membanjirnya obat dalam jumlah yang sangat besar, aspek penegakan hukum, proses pengambilan keputusan oleh para dokter sampai ke aspek budaya setempat. Ketika terjadi pola pengobatan yang tidak rasional, maka semua orang akan merugi, khususnya mereka yang sangat rentan terhadap efek samping obat, yaitu mereka yang sangat muda (bayi dan balita) dan mereka yang sudah lanjut usia. Celakanya, kedua kelompok inilah yang sehari-hari terpapar pada polifarmasi yang tidak rasional, khususnya bayi dan balita. “Balita memang sering sakit, tetapi sakitnya balita adalah sakit ringan yang tidak membutuhkan beragam obat. Bahkan, sakitnya ini merupakan suatu mekanisme alamiah untuk mem-” boost ” sistem imunnya.
Kelak di usia sekitar 7 tahunan, anak sudah mulai jarang sakit karena sistem imunnya sudah lebih kuat,” jelas Wati, panggilan dokter yang menulis buku Bayiku Anakku; Panduan Praktis Kesehatan Anak. Apa yang Harus Dilakukan? Pola pengobatan yang tidak rasional bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan, di antaranya kualitas terapi menurun, yang akan menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian meningkat, meningkatnya risiko efek samping, biaya meningkat, dan sebagainya.
Lantas, apa yang harus dilakukan orangtua agar anaknya terhindar dari RUM? “ Be a smart patient, jadilah pasien yang cerdas,” ujar Wati tegas. Caranya: 1 Prioritas: Menyadari bahwa yang paling berkepentingan akan kesehatan dan kesejahteraan diri kita dan keluarga kita adalah kita sendiri. 2 Cari Informasi: Jangan serahkan semua urusan kesehatan ke tenaga kesehatan dan ke pemerintah. Pasien harus proaktif mempelajari kesehatan, sehingga bisa melakukan upaya preventif yang tepat. Dan ketika jatuh sakit sekalipun bisa tetap rasional, karena selalu mencari informasi perihal gangguan kesehatan dan menanganinya sesuai panduan ilmiah terkini.
3 Konsultasi: Jangan artikan kunjungan ke dokter sebagai upaya minta obat, yang harus cespleng dan segera sembuh. Kunjungan ke dokter adalah upaya konsultasi, upaya diskusi mencari kejelasan penyebab dan upaya meminta diagnosis. Jadi, pasien sebaiknya menguasai kapan harus ke dokter, sehingga terhindar dari kondisi “tamasya” mondar-mandir ke dokter atau RS/klinik. 4 Bertanya: Yang tak kalah penting adalah bertanya.
Ketika kita berkonsultasi dengan dokter, sedikitnya ada 3 pertanyaan “wajib” yang harus diajukan, yakni: – Kenapa (apa penyebab gangguan kesehatan yang saya alami?) Pertanyaan ini akan membimbing kita ke arah diagnosis. – Apa yang harus saya lakukan (sebaiknya menggunakan konsep tatalaksana dan bukan konsep pengobatan, karena tidak semua gangguan kesehatan tatalaksananya harus mencakup obat). – Kapan saya harus cemas? (konsep RUM melindungi pasien dari overtreatment, mistreatment dan juga undertreatment. Smart patient jangan diartikan sebagai antiobat, antiantibiotik, atau antidokter.
Justru pasien cerdas dan pintar akan bijak, sehingga bisa membuat keputusan yang tepat. 5 Informasi obat: Ketika konsultasi berakhir dengan penulisan secarik resep, ada dua hal inti yang harus dilakukan. Pertama, merencanakan untuk mencari informasi gangguan kesehatan dan tatalaksananya, dan kedua, merencanakan mencari informasi obat di web terpercaya. Kapan Anak Butuh Antibiotik? “Anak butuh antibiotik apabila ia mengalami infeksi kuman jahat (bakteri jahat) yang tidak bisa dibasmi oleh daya tahan tubuhnya,” ujar Dr. Purnamawati S.
Pujiarto, Sp. A (K), MMPed. Misalnya, ketika anak mengalami pneumonia (meski sebagian pneumonia pada anak juga disebabkan oleh virus), infeksi saluran kemih (ISK), infeksi telinga tengah akut (otitis media akut atau OMA), infeksi tenggorokan karena kuman streptokokus (biasanya mengenai anak berusia 4 tahun dengan demam tinggi, tanpa batuk pilek, disertai pembesaran kelenjar getah bening di bawah rahang bawah dan ditemukan bercak putih nanah di tonsilnya), anak besar dengan tifus (demam lebih 5 hari tanpa batuk pilek yang semakin hari semakin tinggi, keadaan umum tampak sakit berat), atau diare dengan tinja berdarah. Hasto Prianggoro / bersambung Sumber.
![Tempat Praktek Dr Kurnia Kusumastuti SpS Tempat Praktek Dr Kurnia Kusumastuti SpS](/uploads/1/2/5/6/125634153/437524356.jpg)
KELAHIRAN bayi ditunggu setiap pasangan baru. Tetapi lantaran belum berpengalaman, para ibu baru habis hanya mengkhawatirkan hal sepele yang terjadi pada bayi.
Tahun pertama kehidupan buah hati Anda merupakan momen yang teramat istimewa. Namun di tahun berikutnya, Anda harus mempersiapkan diri menghadapi kejutan dari bayi mungil Anda.
Pasalnya, bayi yang semula amat bergantung kepada orang tua, kemudian beranjak menjadi anak kecil yang mulai berjalan dan menunjukkan tanda pertama dari kemandiriannya. Selama bulan pertama, bayi yang baru lahir masih membiasakan diri pada dunia yang masih terasa asing baginya. Orangtua pun terbiasa mengurus segala kebutuhan si bayi.
Masalahnya, ada beberapa kebiasaan yang umum dialami bayi di bulan-bulan awal kelahiran, yang justru memicu orangtua menjadi panik. “Banyak orangtua yang panik berlebihan saat melihat bayinya gumoh, muntah, dan hal lain yang biasa bayi lakukan,” kata psikoanalist Leon Hoffman MD seperti dituturkan dalam webmd.com. Direktur Pacella Parent Child Center (Pusat Orangtua dan Anak) ini juga mengatakan, tidak sedikit orang tua yang menghabiskan waktu pada tahun pertama kehidupan bayi mereka dengan mengkhawatirkan masalah kecil. Ambil contoh, kekhawatiran apakah bayi saya terlalu banyak muntah, apakah dia makan terlalu banyak atau cukup, apakah dia menangis terlalu sering, dan segudang pertanyaan lainnya. “Dengan kekhawatiran yang muncul ini, orangtua malah selalu tidak tenang dan bukannya menikmati masa tahun pertama si kecil. Padahal, bayi lebih kuat dari perkiraan kita sebenarnya,” ujar Leon. Kesalahan lain yang orang tua acap kali lakukan adalah selalu memastikan agar bayi tidak menangis. “Hal ini dikarenakan anggapan bahwa bayi menangis berarti ada yang salah dan harus segera diperbaiki,” ungkap perawat anak Jennifer Walker RN.
Padahal menurut penulis “The Moms on Call Guide to Basic Baby Care” ini, bayi memang dirancang untuk menangis. Walaupun mereka sudah diberi popok dengan baik dan sudah makan dengan kenyang, tetap saja ada hal yang dapat membuat mereka menangis. “Karena ini proses alamiah,” imbuh Jennifer lagi. Bukan lantas Anda membiarkan bayi menangis selama satu jam. Kalau bayi menangis lama, bisa jadi karena dia sedang demam atau muntah terus-menerus. Segera laporkan ke dokter anak bila Anda mengalami kejadian ini. Sering kali orang tua bingung membedakan antara gumoh dan muntah.
Dalam bukunya berjudul “Bayiku Anakku Panduan Praktis Kesehatan Anak”, dr Purnamawati S Pujiarto SpAK MMPed menulis, orangtua harus dapat membedakan antara muntah dengan gumoh. Gumoh atau reflux adalah aliran balik dari lambung yang biasa terjadi secara spontan tanpa dorongan tenaga dan jumlahnya biasanya sedikit. Gumoh umumnya akan menghilang sejalan dengan bertambahnya usia. Di lain pihak, muntah yang hanya sesekali pun biasanya tidak mengindikasikan adanya suatu gangguan kesehatan yang berbahaya.
Muntah adalah gejala, jadi hanya semacam alarm. Yang perlu dipikirkan adalah penyebabnya. Bayi yang menangis kuat sebelum minum atau bayi yang minum dengan rakus, biasanya akan banyak menelan udara. Udara ini akan terperangkap di lambung bayi dan menyebabkan rasa tidak nyaman. Karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yang bisa membantu bayi agar terhindar dari hal ini. Setiap kali minum, posisi bayi harus agak tegak, jangan berbaring datar.
Dalam posisi semi-tegak, susu mengendap di dasar lambung sehingga anak tidak mudah gumoh. Jangan lupa,menyendawakan bayi setiap habis minum. Orangtua memang tidak perlu merisaukan masalah sepele seperti yang tadi dikemukakan. Namun beda pasalnya jika menyangkut demam. “Demam pada tiga bulan usia bayi bisa dikategorikan sebagai kejadian gawat,” papar Jennifer. Kecuali demam yang terjadi selama 24 jam setelah bayi diimunisasi.
Sebagian orang tua akan beranggapan, mungkin bayi saya hanya sedang merasa hangat tubuhnya, kemudian memberinya Tylenol. Inilah letak kesalahan orangtua. Pada usia tersebut, sistem imunitas tubuh bayi belum bekerja sempurna untuk dapat menangkal infeksi yang terjadi di tubuhnya. Kemudian apabila Anda suka mengajak bayi jalan-jalan, jangan lupa memasang kursi khusus bayi di mobil. Hal ini jangan dianggap sepele karena kehidupan bayi Anda bergantung pada benda tersebut. Kursi bayi menjaga bayi tetap aman saat berada dalam kendaraan. Nah, masalah gigi juga kadang diremehkan orang tua baru. Mereka tidak berpikir untuk memberi perhatian pada kesehatan gigi dan mulut si kecil sampai akhirnya terlambat.
“Bayi tidak pernah terlalu muda untuk diajarkan kebiasaan menjaga kesehatan mulut dan gigi,” kata drg Saul Pressner. (SINDO//tty) Sumber. Health News Fri, 10 Jun 2011 10:18:00 WIB Fitri Yulianti – Okezone PASIEN datang ke tenaga kesehatan dengan beragam keluhan. Usai menjelaskan sakit yang dirasa, pasien mendapatkan resep obat. Selesaikah prosedur berobat sampai di sini? Jawabannya, tidak.
Sebagai pasien, Anda punya hak untuk dilayani dengan baik oleh dokter, termasuk dalam peresepan obat antibiotik. “Pasien punya hak untuk didengar, mengekspresikan ketakutan, dan punya hak untuk memilih. Tapi, pasien juga harus tahu bagaimana membuat pilihan yang cerdas,” kata dr Purnamawati, Sp.A (K), MMPaed dari Yayasan Orangtua Tua Peduli pada Seminar dan Diskusi Panel “Resistensi Mikroba: Mengapa dan Apa yang Harus Kita Lakukan?” di Aula FKUI, Jalan Salemba Raya No. 6, Jakarta Pusat, Kamis (9/6/2011).
“Terapi tidak harus dengan antibiotik. Obat hanya salah satu bagian dari terapi. Ketika pasien mendapatkan resep antibiotik, ajukan pertanyaan kepada dokter. Pertama, apakah memang diperlukan?
Kalau memang iya, tanyakan lagi infeksi kumannya di mana? Karena beda infeksi, beda antibiotik,” tukas Zunilda Dj. Sadikin dari Department Clinical Pharmacology FMUI/CMH kepada okezone usai acara. Zunilda menjelaskan bahwa kebanyakan penyakit bisa ditangani sendiri oleh masyarakat, tanpa perlu ke dokter.
“Pasien harus memastikan tentang penyakitnya. Sebenarnya, kebanyakan masalah masih bisa diatasi sendiri oleh pasien. Masyarakat makin peduli kesehatan, tapi sering salah kaprah. Cari informasi sebanyak mungkin,” tegasnya. Zunilda mencontohkan demam yang sering diderita kebanyakan orang.
“Kalau baru tiga hari, sebenarnya enggak perlu dibawa ke rumah sakit, asalkan kita tahu bahwa demam bisa menyebabkan kejang, jadi kita bisa mengambil tindakan pencegahan,” tandas dokter keluarga ini. Bila dokter Anda ngotot memberi antibiotic, Zunilda menandaskan, “Dokter ngeyel, pasien juga harus ngeyel. Karena enggak mungkin kita dikasih antibiotik yang sifatnya tembak semua (kuman), tanpa yakin kumannya berada di mana.” Sikap kritis pasien tidak hanya pada peresepan obat oleh dokter, meliputi juga bagaimana memilih tenaga kesehatan berkompeten. “Dokter yang ramai pasiennnya belum bentu bagus. Sekarang logikanya, bagaimana dia punya waktu untuk menjawab pertanyaan Anda? Cari tahu penanganannya kayak apa? Obatnya benar atau tidak?
Misal Anda berobat dan dikasih resep, tapi tidak juga sembuh. Lalu Anda kembali ke sana. Dokter yang baik akan mengevaluasi obat, diagnosis lagi si pasien, kalau perlu ganti obat, bukan enggak mau tahu. Sebagai pasien, Anda harus cerewet,” tutupnya. (ftr) Sumber. Jum’at, 10 Juni 2011 – 10:50 wib ISU resistensi antibiotik tengah digemakan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada masyarakat dunia.
Isu semakin pelik karena setelah ditelusuri, akar permasalahan ada di pasien, juga dokter. Tahukah Anda, berbagai jenis bakteri kini semakin cerdik menghancurkan kerja antibiotik? Bakteri juga mampu menghancurkan sistem pertahanan yang seharusnya dipakai antibiotik untuk melawan infeksi. Akibatnya, semakin banyak bakteri yang meningkat kekebalannya. Kekebalan bakteri terhadap antibiotik (resistensi antibiotik) inilah yang kemudian menimbulkan kecemasan dunia kedokteran, apalagi titik permasalahan juga ada pada tenaga kesehatan. Sebagian dokter kerap meresepkan antibiotik dengan harapan menyembuhkan pasien, tapi nyatanya kontraproduktif. “Kesalahan soal penggunaan antibiotik, pertama, diagnosa dokter yang tidak tepat dan pengetahuan masyarakat yang masih rendah soal infeksi,” kata Zunilda Dj Sadikin dari Department Clinical Pharmacology FMUI/CMH kepada okezone usai Seminar dan Diskusi Panel “Resistensi Mikroba: Mengapa dan Apa yang Harus Kita Lakukan?” di Aula FKUI, Jalan Salemba Raya No.
6, Jakarta Pusat, Kamis (9/6/2011). “Kenapa dokter ngeyel kasih antibiotik? Karena dia enggak pede dengan hasil diagnosisnya. Dia takut pasien enggak sembuh atau ada infeksi sekunder, makanya dikasih saja antibiotik. Belum lagi kepanikan pasien, yang membuat dokter makin minder,” sahutnya. Selain kepanikan pasien, minimnya wawasan dokter soal penyakit ditengarai menjadi akar permasalahan berikutnya. “Kesalahan juga ada pada dokter.
Mereka tidak yakin dan tidak banyak membaca artikel ilmiah,” imbuh Zunilda. Namun ternyata, kalangan masyarakat juga menyumbang permasalahan yang sama. Masyarakat sepatutnya memahami perihal penggunaan antibiotik. “Pasien adalah bagian dari suatu sistem, bagian dari permasalahan resistensi antibiotik.
Pasien punya hak untuk didengar, mengekspresikan ketakutan, dan punya hak untuk memilih. Tapi, pasien juga harus tahu bagaimana membuat pilihan yang cerdas (soal antibiotik),” jelas dr Purnamawati SpA(K) MMPaed dari Yayasan Orangtua Tua Peduli pada kesempatan yang sama. Zunilda bahkan mengatakan, ada kepentingan bisnis perusahaan farmasi yang “memaksa” dokter meresepkan obat yang diproduksinya. “Kelihatannya sih ada (keterlibatan perusahaan farmasi),” tambahnya.
Sebagai masyarakat yang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan secara transparan, Zunilda berujar, pasien sah-sah saja memberikan pengaduan bila menemukan kasus peresepan di luar logika, misal harganya yang selangit. “Resistensi antibiotik tidak bisa diatasi dengan menemukan antibiotik baru atau membeli antibiotik termahal dan terkuat. Selamatkan antibiotik untuk selamatkan kehidupan kita di kemudian hari,” tutup dr Purnamawati. (ftr) Sumber.